HUKUM MENYALURKAN ZIS UNTUK BIAYA IBADAH HAJI
Sunday, 12 February 2017
0
komentar
Oleh: Ust. Kardita Kintabuwana, Lc., MA.
Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa zakat adalah kewajiban
harta yang spesifik, memiliki syarat tertentu, alokasi tertentu dan
waktu tertentu. Oleh karena itu, pengalokasian dan pendistribusiannya
harus sesuai dengan ketentuan syar’i seperti tercantum dalam Al-Qur’an
surat At-Taubah: 60:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat, para Mu’allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang,
untuk jalan Allah (fi sabilillah) dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dalam mendefinisikan dan menafsirkan kata “fi sabilillah” para ulama berbeda pendapat. Ada yang meyempitkan arti “fi sabilillah”
dengan mengartikannya sebatas jihad di medan pertempuran. Dan ada
sebagian lagi yang meluaskan artinya mencakup semua amal-amal kebajikan
yang dilakukan demi menegakkan syiar agama seperti: mendirikan masjid,
sekolah, pusat dakwah, dan lain-lain, termasuk didalamnya ibadah haji.
Mereka yang mengatakan bahwa ibadah haji termasuk katagori “fi sabilillah” antara lain yaitu Al-Hanabilah dan sebagian Al–Hanafiah. Mereka berhujah dengan menggunakan dalil berikut ini:
- Dari Ibnu Abbas ra bahwa seseorang menyerahkan seekor hewan untuk fi sabilillah, namun isterinya ingin pergi haji. Nabi SAW bersabda, “Naikilah, karena haji itu termasuk fi sabilillah“. (HR Abu Daud)
- Diriwayatkan dari Ahmad dan Ishaq rahimahumallah ta’ala bahwa keduanya berkata : “Haji adalah sabilullah”.
- Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan dari Abu Laas : “Nabi saw menyertakan kami dengan menunggang onta zakat untuk berhaji”. Dan disebutkan dari Ibnu Abbas (bahwa) beliau membebaskan budak dari zakat malnya dan mendanai untuk keperluan haji. Al-Hafizh berkata dalam Fathul Bari 3/331 cetakan riasatul ammah lil buhuts pada takhrij atsar Ibnu Abbas : Abu Ubaidah menyambungnya (sampai kepada Nabi) dalam kitabul Amwal dari jalan Hassan bin Abi Al-Asyras dari Mujahid bahwa dia berpendapat tidak mengapa seseorang yang memberikan zakat malnya untuk keperluan haji dan untuk membebaskan budak.
- Diantara dalil yang paling tegas menunjukkan bahwa haji termasuk “fi sabilillah” adalah hadits Ummu Ma’qil Al-Asadiyyah ra pada riwayat Imam Ahmad 6/405, dia berkata :“Abdullah telah bercerita kepada kami, dia berkata : Ayahku telah bercerita kepada saya, dia berkata : Muhammad bin Ja’far dan Hajjaj telah bercerita kepada kami, keduanya berkata : Syu’bah telah bercerita kepada kami dari Ibrahim bin Muhajir dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, dia berkata: Marwan mengutus(nya) kepada Ummu Ma’qil untuk bertanya kepadanya tentang hadits ini. Kemudian Ummu Ma’qil menceritakannya bahwa suaminya telah mengalokasikan onta jantannya fi sabilillah. Sementara Ummu Ma’qil ingin umrah. Kemudian dia meminta onta jantan tersebut kepada suaminya, namun suaminya menolak. Maka Ummu Ma’qil mendatangi Nabi saw dan menceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Kemudian Nabi saw memerintahkan suaminya untuk memberikan onta tersebut kepadanya seraya bersabda : “Haji dan umrah itu fi sabilillah”.
Imam Ahmad juga mengeluarkan dari jalan Muhammad bin Ishaq, dia
berkata : Yahya bin Abbad bin Abdullah bin Az-Zubair telah bercerita
kepada kami dari Al Harits bin Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits
bin Hisyam dari ayahnya, dia berkata :“Saya termasuk rombongan bersama
Marwan pergi menemui Ummu Ma’qil”. Dan dia melanjutkan : “Dan saya
termasuk rombongan bersama Marwan yang masuk menemui Ummu Ma’qil dan
saya mendengarnya ketika dia menceritakan hadits ini”.
Syeikh Al Albani mensifatnya dengan sanadnya yang jayid. (Irwa-ul Ghalil 3/374).
Beliau juga berkata dalam Al Irwa’ 3/372 : Hadits : “Haji dan umrah itu fi sabilillah” (HR Ahmad) statusnya Shahih tanpa penyebutan umrah. Sedangkan riwayat dengan penyebutan umrah adalah syadz.
Dan seluruh riwayat sepakat dalam penyebutan haji tanpa penyebutan
umrah –yaitu riwayat Ibrahim bin Muhajir pada riwayat Ahmad 6/375, dia
berkata : Affan telah bercerita kepada kami, dia berkata : Abu Awanah
telah bercerita kepada kami, dia berkata : Ibrahim bin Muhajir telah
bercerita kepada kami dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin
Hisyam, dia berkata : Utusan Marwan kepada Ummu Ma’qil telah mengabarkan
kepada saya, dia berkata : Ummu Ma’qil berkata: Abu Ma’qil pergi
bersama Nabi SAW untuk berhaji. Tatkala Abu Ma’qil kembali. Periwayat
berkata : Ummu Ma’qil berkata : “Saya berkewajiban haji dan anda
memiliki onta jantan, berikanlah kepada saya agar bisa berhaji”.
Periwayat berkata : Abu Ma’qil berkata : “Anda telah mengetahui bahwa
saya telah mengalokasikannya fi sabilillah”. Ummu Ma’qil
berkata : “Berikan kepada saya (bekal) dari hasil panen korma anda”. Abu
Ma’qil menjawab : “Anda telah mengetahui bahwa ia adalah pemberian
keluarga saya”. Ummu Ma’qil berkata : “Saya akan bicara dan
konsultasikan hal ini kepada Nabi saw”. Periwayat berkata : Maka
keduanya berjalan hingga masuk menemui Nabi saw. Kemudian Ummu Ma’qil
berkata : “Wahai Rasulullah, saya katakan kepadanya : Sesungguhnya saya
berkewajiban haji sementara Abu Ma’qil memiliki onta jantan”. Abu Ma’qil
menimpali : “Benar yang dikatakannya, dan saya telah memperuntukkan
onta tersebut fi sabilillah”. Nabi saw bersabda : “Berikan kepadanya agar bisa berhaji, sebab sesungguhnya haji itu fi sabilillah”.
Oleh karena itu, seorang miskin atau orang yang tidak mampu yang
berkewajiban haji berhak atas dana zakat, menurut pendapat ini. Namun
perlu diperhatikan bahwa dana zakat tersebut diperuntukan bagi mereka
yang melaksanakan haji wajib, yaitu haji untuk pertama kali. Sedangkan
untuk haji yang sunnah, yaitu haji yang berikutnya, tidak termasuk dalam
kategori ini.
Sedangkan dana infaq dan shadaqah sifatnya lebih fleksibel. Selama si pemberi zakat (muzakki) tidak membatasi peruntukan dana zakatnya untuk alokasi tertentu (muqayyad),
maka dana tersebut dapat digunakan dan dialokasikan untuk kemaslahatan
masyarakat dan kepentingan dakwah tanpa dibatasi pendistribusiannya
kepada ashnaf (kelompok) yang delapan seperti tersebut pada
surat At-Taubah tadi. Namun disini pentingnya kita melihat skala
prioritas dalam menetapkan alokasi dana zakat, infaq, dan shadaqah tadi,
sehingga dana tersebut bisa tersalur secara tepat guna dan tepat
sasaran dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran umat.
Wallahu a’lam bi ash-shawab
sumber : www.rumahzakat.org
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: HUKUM MENYALURKAN ZIS UNTUK BIAYA IBADAH HAJI
Ditulis oleh Investasi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://investasiakhiratku.blogspot.com/2017/02/hukum-menyalurkan-zis-untuk-biaya.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Investasi
Rating Blog 5 dari 5