Cukuplah Kematian Sebagai Nasihat
Tuesday, 8 October 2013
0
komentar
Perbanyaklah mengingat sesuatu yang
melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian! (HR. Tirmidzi).
Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian.
Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak
pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar
tak lari menyimpang.
Nilai-nilai pelajaran yang ingin
diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan.
Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.
Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga
Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin
yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian.
Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini
akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan
menjemputnya.
Ketika seorang manusia melalaikan nilai
waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang
kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal
kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1,
Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang
mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).
Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia,
dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk
mengatakan, Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu
untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan. Tapi sayang, permohonan
tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada
perundingan.
Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim
ayat 44, Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang
pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang
zalim: Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang
sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti
rasul-rasul.
Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan
dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa
pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara
mengatakan habis, usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang
sebenarnya.
Lalu, masih kurang patutkah kita
dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi
tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah
berakhir. Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah
melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang
kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang
menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya
akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang
sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.
Teramat naif kalau ada manusia yang
berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa
selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan
terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan
akhir itu semua adalah kematian.
Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak
ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain
kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata
Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain
kafan itu.
Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang.
Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan
kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita
membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan
tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.
Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik
sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali
kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal
bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba
Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah
kita mainkan.
Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang
menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup
selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia
bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan
kenikmatan saat ini.
Ketika sapaan kematian mulai datang
berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin
keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan
pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus:
awal, berkembang, dan kemudian berakhir.
Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat
kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup
tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan
memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan
sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika
ladang harus dikembalikan.
Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah
Al-Qashash ayat 77, Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) dunia dengan menyebut, Ad-Dun-ya mazraatul
akhirah. (Dunia adalah ladang buat akhirat).
Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya
untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu
yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang
menghargai arti kehidupan.
Wallahu a'lam
www.rumahzakat.org
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Cukuplah Kematian Sebagai Nasihat
Ditulis oleh Investasi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://investasiakhiratku.blogspot.com/2013/10/cukuplah-kematian-sebagai-nasihat.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Investasi
Rating Blog 5 dari 5