Fiqih Qurban [1]
Thursday, 22 August 2013
0
komentar
(bagian 1)
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya ;
"Maka shalatlah untuk Rabbmu dan
sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2).
Syaikh Abdullah Alu Bassaam
mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan
menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.”
Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534
Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah
ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk
jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis).
Udh-hiyah
adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat
Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366).
Menyembelih
qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha
menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;
“Tidaklah anak
Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai
oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa
senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih,
lihat Taudhihul Ahkam, IV/450).
Hadis di atas
didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan
hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama
menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama
dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang
lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam
berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih
qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (lih.
Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521).
Dalam hal
ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama
yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu
Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta
sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang
menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak
wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul
Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali
mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan
dihasankan oleh Syaikh Al Albani).
Kedua, menyatakan
Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu
Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat
ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu.
Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku
adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau
tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan
Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku
melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur
Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih
dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454).
Dalil-dalil
di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika
dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian
ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan:
“…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena
dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu
a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…!
bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban
yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu
berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua
berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya
(pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010)
sumber :
http://muslim.or.id/
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Fiqih Qurban [1]
Ditulis oleh Investasi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://investasiakhiratku.blogspot.com/2013/08/fiqih-qurban_1699.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Investasi
Rating Blog 5 dari 5